Cerpen | Kehidupan | Senja Di Pelupuk Mata | 15/8/2024
Di sudut kota kecil yang terbungkus kabut tipis, senja datang dengan tenang, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah. Di sana, di sebuah rumah tua dengan dinding kayu yang mulai lapuk, seorang pria tua duduk di beranda, matanya yang keriput menatap lekat ke arah langit yang mulai meredup.
Namanya Pak Arif, seorang lelaki yang telah melewati banyak musim dalam hidupnya. Di usianya yang senja, ia seringkali menghabiskan waktu dengan duduk di beranda, menunggu mentari terbenam sambil menikmati setiap detik yang tersisa dalam hidupnya. Baginya, senja bukan sekadar pergantian waktu, melainkan sebuah pengingat akan perjalanan hidup yang penuh liku.
Sore itu, seperti biasa, Pak Arif mengenang masa-masa mudanya. Ia teringat pada seseorang yang pernah singgah di hatinya, seseorang yang tak pernah benar-benar pergi dari ingatannya, meskipun waktu terus berjalan. Namanya Siti, perempuan dengan senyum manis dan mata yang selalu berbinar penuh semangat. Mereka bertemu di bawah naungan langit senja, di tepi pantai yang sepi, di mana ombak berbisik lembut di telinga.
Saat itu, Siti adalah segalanya bagi Pak Arif. Mereka berbagi mimpi, tawa, dan juga air mata. Namun, takdir berkata lain. Siti harus pergi, meninggalkan Pak Arif dengan kenangan yang tak mungkin dihapus. Sejak hari itu, setiap kali matahari mulai tenggelam, Pak Arif merasakan kehadiran Siti di pelupuk matanya, seolah-olah perempuan itu masih di sampingnya, memandang senja bersama.
Angin sore berhembus pelan, membawa harum bunga kamboja yang tumbuh di halaman. Pak Arif menarik napas panjang, merasakan aroma yang mengingatkannya pada masa-masa dulu. Ia tahu, usianya tak lagi muda, dan mungkin waktunya di dunia ini tak akan lama lagi. Tapi ia merasa tenang. Dalam senja yang berangsur redup, ia merasakan damai yang sulit diungkapkan.
“Pak Arif, masuk dulu, yuk. Udara sudah mulai dingin,” suara lembut Ibu Siti, istri Pak Arif yang lain, membuyarkan lamunannya. Ibu Siti tahu betul bahwa suaminya memiliki kenangan yang tak bisa ia gantikan, namun ia tak pernah merasa cemburu. Baginya, cinta suaminya tak pernah berkurang, meski ada nama lain di hatinya.
Pak Arif tersenyum kecil, menoleh pada Ibu Siti yang berdiri di ambang pintu. “Sebentar lagi, Bu. Saya ingin melihat senja sampai habis,” jawabnya dengan nada lembut.
Ibu Siti hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian masuk ke dalam rumah, membiarkan suaminya menikmati senja yang selalu menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Dengan mata yang perlahan mulai terpejam, Pak Arif tersenyum lembut. Senja di pelupuk matanya membawa kedamaian yang ia rindukan. Dan dalam diam, ia merasakan kehangatan yang menyelimutinya, seolah-olah Siti benar-benar ada di sampingnya, menggenggam tangannya, menuntunnya menuju cahaya yang abadi.
Hari itu, senja mengantarkan Pak Arif pada pertemuan yang telah lama dinantinya. Pertemuan dengan cinta yang tak pernah benar-benar pergi, pertemuan dengan Siti di balik langit senja. Dan dengan damai, Pak Arif meninggalkan dunia, meninggalkan kenangan dan cinta yang akan terus hidup dalam senja yang datang setiap hari.(*)
@alfanancy